PEMBERIAN dana tunjangan kinerja (Tunkin) dan atau Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) serta tunjangan lainnya oleh Walikota Palembang kepada Sekretaris Daerah (Sekda), Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pemerintahan Kota Palembang, termasuk kepada walikota sendiri, sungguh haruslah menjadi pertanyaan besar.
Apa urgensinya pemberian dana yang bersumber dari APBD Kota Palembang tersebut kepada para pejabat dan ASN yang sudah diberikan gaji serta sebagian tunjangan serta fasilitas yang bagus?
Untuk meningkatkan kesejahteraankah ataukah untuk “memperkaya diri sendiri atau orang lain”? Berapa banyakkah uang APBD yang “dibagi-bagikan” kepada para pejabat dan ASN tersebut?
Berapa banyak pulakah uang APBD Kota Palembang yang diserahkan kepada warga kota yang fakir, miskin, anak-anak terlantar, anak-anak yatim tiap bulan atau tiap tahun?
Yang pasti, para pejabat dan ASN tersebut selama ini sudah menerima gaji bulanan dengan berbagai tunjangan. Sebagian menerima fasilitas yang bagus dengan biaya dari negara. Ada pula yang menerima kendaraan mobil dinas yang bahan bakarnya dan perawatannya dibiayai negara, serta ada pula yang menerima sepeda motor dinas.
Setelah menerima gaji dan tunjangan serta fasilitas yang cukup besar, malah diberikan pula uang Tunkin dan atau TPP yang jumlahnya variatif. Bagi pejabat jumlahnya jauh lebih besar dari pegawai biasa.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Palembang kabarnya tahun lalu menerima hamper Rp 100 juta per bulan. Selain TPP ada pula uang lainnya yang diterimanya sebagai pengawas PDAM Tirta Musi Palembang.
Kepala SKPD kabarnya menerima belasan bahkan ada yang puluhan juta per bulan. Sedangkan pejabat struktural eselon III ke bawah dan non struktural serta ASN yang berpangkat paling rendah jumlahnya lebih kecil.
Angka pasti Tunkin dan TPP tiap tahun yang diambil dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Palembang itu sampai saat ini kita tidak mengetahuinya. Beberapa kali bersurat ke Walikota Palembang dan pejabat terkait, tidak pernah dibalas.
Yang jelas, dulu sekitar lima tahun lalu, Amiruddin Sandy, Kabag Humas waktu itu mengatakan Tunkin Kota Palembang tertinggi di Pulau Sumatera. Lebih tinggi dari Tunkin di Kota Medan, Bandarlampung maupun Batam. Waktu itu disebutkan untuk eselon II tertentu bisa mencapai sekitar Rp 60 juta sebulan.
Kita sebagai rakyat kecil sangat prihatin dengan “pengambilan” uang rakyat oleh Walikota dengan persetujuan DPRD Kota Palembang untuk “memperkaya diri” pejabat dan ASN.
Kalaulah benar setiap kepala dinas (eselon II) di atas Rp. 30 juta sebulan saja katakanlah sekitar Rp 40 juta per bulan, itu sudah nyata-nyata memperkaya diri mereka, Sebab, ditambah lagi dengan gaji dan tunjangan jabatan mereka yang bila ditotal sekitar Rp. 7 juta sampai Rp. 10 juta sebulan. Rp 40 juta X 12 bulan berarti 480 juta setahun, ditambah gaji dan tunjangan jabatan misalnya Rp. 10 juta sebulan x 13 bulan maka setahun jumlahnya Rp 130 juta. Jika Tunkin dan atau TPP yang Rp. 480 juta ditambah dengan Rp. 130 juta, maka berarti Rp 610 juta per tahun yang dinikmati oleh seorang Kepala SKPD.
Terkhusus, Sekda jumlahnya tentu lebih fantastis lagi. Sebab, Tunkin dan atau TPP untuk Sekda lebih besar dibandingkan dengan Kepala SKPD.
Kalaulah Tunkin dan atau TPP itu diberikan 13 bulan setahun, maka sungguh uang rakyat di APBD justru menjadi prioritas untuk “memakmurkan” walikota dan jajarannya. Sedangkan rakyat yang fakir, miskin dan anak-anak terlantar tidak disediakan uang yang cukup dan wajar saban bulan dari dana APBD.
Ini fakta ketidakadilan yang nyata yang dilakukan Walikota dan DPRD Kota Palembang.
Sebab, Tunkin dan atau TPP serta tunjangan lainnya itu dibahas dan disetujui dalam Rapat Paripurna DPRD Kota Palembang. Jika para wakil rakyat di DPRD Kota Palembang menolak pemberian Tunkin dan atau TPP serta tunjangan lainnya, maka Walikota Harnojoyo dan pejabat Pemkot Palembang lainnya tidak akan bisa “menikmati” uang rakyat tersebut.
Saya ketika awal Covid 19 pernah menanyakan kepada walikota apakah Tunkin dan TPP tetap diberikan kepada para pejabat dan ASN padahal sebagian besar tidak bisa menunjukkan kinerja yang luar biasa.
Ternyata faktanya, Tunkin dan atau TPP tetap dibagikan kepada para pejabat dan ASN. Sebaliknya sebagian rakyat yang dihimbau tidak bekerja, di rumah saja, tidak diberikan uang dan makanan yang cukup. Segelintir warga hanya diberikan sembako senilai Rp. 178.000.- (seratus tujuh puluh delapan ribu) per kepala keluarga (KK) dan hanya untuk sekali pemberian saja. Sedangkan Tunkin dan atau TPP tetap diambil dan atau dinikmati oleh sebagian besar pejabat dan ASN di Kota Palembang, padahal kinerja mayoritas pejabat dan ASN Pemkot Palembang pada saat Covid 19 menurun. Aneh bin nyata, tunkin atau TPP tetap mereka terima.
Ketidakadilan itu terus terjadi. Uang pajak dan retribusi yang kita rakyat bayarkan, justru sebagian untuk dinikmati para pejabat dan ASN dengan judul Tunkin dan atau TPP. Uang pajak, retribusi dan lainnya yang merupakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Palembang, ternyata bukan full untuk pelaksanaan pembangunan. Tidak semua uang pajak, retribusi dan lainnya itu untuk pelaksanaan pembangunan.
Padahal, jika dana Tunkin dan TPP tersebut diberikan kepada rakyat yang fakir, miskin, anak-anak terlantar dan atau anak-anak yatim, tentulah akan sangat bermanfaat. Namun, dengan diberikan kepada pejabat dan ASN yang sudah menerima gaji, tunjangan dan fasilitas untuk bekerja, maka yang bergaji dan relatif kaya makin kaya dan kian beruang saja. Sedangkan rakyat yang fakir dan miskin serta anak-anak terlantar tidak menikmati uang APBD tersebut secara wajar dan cukup.
Apabila dana Tunkin atau TPP yang dibagi-bagikan kepada para pejabat dan ASN tersebut sekitar Rp. 600 milyar, maka akan sangat banyak jalan-jalan yang rusak bisa diperbaiki, sekolah-sekolah dan sarana prasarana yang sudah rusak bisa diganti dalam waktu cepat, lampu jalan bisa hidup semua, selokan-selokan yang tidak ada atau rusak bisa diperbaiki dan dibangun baru.
Lingkungan yang kotor bisa dibersihkan, kesemrwautan di banyak tempat dan berbagai persoalan lainnya yang ada di masyarakat pun bisa diatasi. Kemacetan yang terjadi di banyak tempat pun bisa dikurangi.
Jika Walikota Palembang dan DPRD Kota Palembang memberikan anggaran bulanan untuk warga yang fakir miskin dan anak-anak terlantar, serta anak-anak yatim baik yang tinggal di rumah maupun di panti-panti asuhan, maka kepala daerah dan wakil-wakil rakyat melaksanakan konstitusi dengan baik.
Sebaliknya, jika uang APBD Kota Palembang tidak diberikan dalam jumlah wajar dan cukup kepada fakir miskin, anak-anak terlantar dan anak-anak yatim, maka Walikota Harnojoyo berserta wakil, Sekda dan jajarannya serta wakil-wakil rakyat tidak melaksanakan kewajiban dengan baik. Bahkan, bisa dianggap tidak konstitusional karena tidak melaksanakan kewajiban memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar sebagaimana perintah Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara,”.
Menurut pantauan wartawan masih banyak panti asuhan yang tidak diberikan anggaran melalui APBD Kota Palembang. Panti-panti asuhan sebagian besar juga tidak diberikan anggaran APBD. Ini ketidakadilan nyata yang mungkin sudah mendekati kezhaliman.
Belakangan, Allah Tuhan Yang Maha Kuasa menunjukkan tanda kepada warga Palembang tentang Tunkin dan atau TPP atau tunjangan lainnya yang sesungguhnya tidak tepat dan harusnya dihentikan. Oleh karena itu, permintaan agar Stop Tunkin dan TPP serta tunjangan lainnya untuk Walikota dan para pejabat serta ASN menjadi sesuatu yang wajar bahkan harus.
Mengapa harus distop?
Karena kinerja Walikota dan sebagian pejabat di Kota Palembang tidak bagus. Jelek. Bahkan patut diduga bermasalah hukum.
Mereka yang sudah pasti menerima Tunkin dan atau TPP atau tunjangan lainnya itu masih mencari cara untuk mengeruk uang melalui berbagai proyek. Baik untuk kepentingan pribadi, orang lain, maupun korporasi dengan cara melanggar hukum dan merugikan keuangan negara.
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Sumsel menemukan banyak kesalahan, pelanggaran, dan bahkan perbuatan yang terindikasi KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dalam Laporan Keuangan Pemkot Palembang Tahun anggaran 2022.
Pemkot Palembang melalui berbagai SKPD diharuskan menyetorkan ke Kas Negara uang total puluhan milyar rupiah.
Walau sudah menerima uang Tunkin atau TPP yang besar, birahi diduga untuk memperkaya diri dengan melakukan perbuatan yang patut diduga melanggar hukum alias korupsi masih terus dilakukan oleh banyak oknum pejabat dan pegawai Pemkot Palembang.
Akibatnya di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang harus mengembalikan uang ke Kas Negara Rp 16 milyar lebih, Dinas Pendidikan Rp, 6 milyar lebih atau ganti meja dan kursi, Bagian Umum atas belanja makan dan minuman serta peralatan listrik mengembalikan uang Rp 773 juta lebih.
Di Badan Pendapatan Daerah juga ada kewajiban mengembalikan uang saat dilakukan pemeriksaan oleh BPK. Di berbagai SKPD yang lain pun ada kewajiban mengembalikan uang karena kesalahan dan sebagian karena terkesan direncanakan.
Belanja di toko yang sudah tutup (tidak beroperasi lagi) bukankah itu namanya nipu. Kalau ada kwitansi, patutlah itu diduga fiktif.
Belanja barang kursi, meja dan lain-lain dengan spesifikasi barangnya “disepakati” kepala dinas dan pemborong alias bersekongkol sehingga pemborong lain tidak bisa ikut tender, yang ikut tender hanya perusahaan satu group saja, apakah bukan korupsi namanya?
Fakta WDP dari BPK RI itu haruslah menjadi perhatian serius dari aparat penegak hukum, terutama kejaksaan dan kepolisian.
Bila jaksa sudah menangkap seorang kepala sekolah karena dugaan korupsi dana komite ratusan juta rupiah, maka sekarang kita tunggu action para jaksa untuk memproses mereka yang sudah ditemukan BPK RI melakukan kesalahan bahkan terindikasi KKN.
Aparat kepolisian yang membidangi korupsi sebaiknya bergeraklah pula. Indikasi sudah diungkap serta bukti-buktinya tinggal dalami dengan memperhatikan hasil LHP BPK RI tersebut.
Kita berkeyakinan dugaan korupsi bisa saja terjadi di banyak SKPD di Pemkot Palembang. Penggunaan kwitansi fiktif, kabarnya juga ada dan banyak terjadi.
Pihak BPK RI Perwakilan Sumsel menegaskan, bola di tangan APH, jaksa atau polisi bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tolong jangan biarkan ketidakadilan, kezhaliman dan kebiadaban berlangsung terus di Bumi Sriwijaya ini.
Jaksa dan polisi seharusnya berlaku adil dalam menegakkan hukum. Siapapun yang telah melakukan tindak pidana korupsi wajib diproses sesuai hukum.
Adalah tidak adil bila mereka yang mengembalikan uang karena patut diduga korupsi dalam waktu 60 hari setelah penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK lantas dibiarkan saja. Pengembalian uang karena tertangkap basah oleh auditor KPK dalam pemeriksaan, mestinya tidak menghapuskan tindak pidana yang dilakukan pelaku. Paling banter, pengembalian itu bisa meringankan.
Bukankah banyak yang ketahuan korupsi lantas mengembalikan uang hasil korupsi, tetapi yang bersangkutan tetap ditangkap, ditahan dan divonis penjara?
Saya di hadapan Ketua Komisi II DPRD Kota Palembang, Muhammad Taufik, Kepala BPKAD Kota Palembang, Agus Kelana, anggota DPRD Palembang dari Partai Demokrat, Ilyas Hasbullah mengingatkan kepada semua pejabat dan ASN di Kota Palembang termasuk wakil rakyat yang menyetujui anggaran Tunkin dan atau TPP serta APBD agar ingat mati.
Semua kita pasti akan mati. Janganlah ngoyo dan membabibuta mengambil uang dari APBD dengan menghalalkan segala cara dan berlaku tidak adil. Semua harus ingat, bahwa terkadang ada saja orang yang susah-payah menghalalkan memperolah uang dengan segala cara, tiba-tiba beberapa hari setelah pensiun langsung dipanggil Allah.
Ada juga harta yang patut diduga haram, atau setidaknya bukan hak orang itu tetapi diambil dengan cara tidak benar, maka suatu saat akan menjadi sumber musibah bagi orang yang bersangkutan. Bisa saja uang haram itu mengakibatkan anak atau keluarga bermasalah hukum.
Allah Tuhan Yang Maha Kuasa akan membalas semua kejahatan yang dilakukan manusia. Balasan itu sungguh banyak macamnya.
Dan, oleh karena itu, setiap orang wajib mensyukuri nikmat Allah dengan tidak ngoyo lakukan korupsi agar dapat uang banyak. Bersyukur atas nikmat gaji dan pendapatan halal, pasti akan ditambahi Allah rezeki dan nikmat tersebut.
Sebaliknya kalau mengingkari nikmat Allah dengan cara maling, korupsi, dan atau berbagai cara lainnya yang tidak diridhai Yang Maha Kuasa, maka tunggulah azab Allah sangat pedih.
Agar jangan menambah dosa dengan ketidakadilan, dan atau bahkan kezhaliman, maka kita mohon agar Walikota dan Ketua serta para anggota DPRD Kota Palembang menghentikan pemberian Tunkin, TPP atau Tunjangan lainnya yang tidak wajar dan sangat tidak adil karena rakyat yang fakir dan miskin tidak diberikan haknya dalam jumlah wajar dan cukup.
Ini hanya pendapat dengan akal sehat. Dan, adalah sangat tidak masuk akal bila yang tidak berkinerja baik tetapi tetap diberikan Tunkin atau TPP. Memakai istilah yang sering disebut Rocky Gerung, maka itu namanya Dungu. Bisa jadi ada yang menganggap biadab. (Palembang, 14 Agustus 2023. Afdhal Azmi Jambak)