NIKAH adalah perintah Allah Tuhan Yang Maha Kuasa terhadap manusia berlainan jenis. Ayat Al Quran dan Hadist Nabi Muhammad SAW sudah jelas dan diketahui secara umum oleh umat Islam. Bagi penganut agama lain, pernikahan pun merupakan kewajiban dan diatur sedemikian rupa. Meski begitu dalam kontek ini, kita fokus ke kalangan umat Islam.
Dari dulu, sebelum Indonesia merdeka, pernikahan sudah berlangsung di berbagai daerah di negeri Indonesia tercinta ini. Dulu, belum ada akta nikah. Pada umumnya, seorang lelaki menikahi seorang perempuan pada acara khusus dengan mengundang banyak orang sebagai pemberitahuan. Apabila ada perceraian, maka biasanya warga masyarakat pun mengetahui pula.
Sekarang dan sejak berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, semua umat Islam yang menikah dan bercerai seharusnya mematuhi ketentuan yang dimuat pada pasal-pasal dalam undang-undang tersebut berikut peraturan pelaksanaanya. Di samping itu, ada juga pasal pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang bisa menjerat siapapun yang melakukan pelanggaran.
Dunia berkembang terus, masyarakat penuh dinamika. Pernikahan yang sakral dengan tujuan sebagaimana Hadits Nabi Muhammad SAW, “Nikahlah dan berbanyak-banyaklah”, terkadang tidak menjadi kenyataan. Namun demikian, sebagian besar pernikahan umat Islam berlangsung dengan baik dan berakhir sampai akhir hayat. Selain itu, ada juga pernikahan yang berhenti di tengah jalan karena perceraian antara pasangan suami-istri tersebut.
Pernikahan dan perceraian di era sekarang ada yang berlangsung mulus, dan ada pula yang bermasalah. Pernikahan yang dilakukan diam-diam, atau hanya diketahui kalangan terbatas, si lelaki dan perempuan serta keluarga dan kerabatnya saja, bisa jadi merupakan pernikahan yang tersembunyi. Pernikahan yang seakan-akan sengaja dilakukan agar jangan sampai publik tahu, dan terutama karena si lelaki sudah beristri jangan sampai diketahui oleh pasangan sahnya.
Nikah diam-diam itu diterjemahkan oleh sebagian orang, yang penting halal menurut ajaran agama Islam. Tidak perlu tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Kalau sudah nikah siri, berarti bila berhubungan badan, sudah halal, tidak berdosa lagi.
Ketika pernikahan siri itu diketahui oleh istri pertama atau istri sebelumnya dan yang bersangkutan tidak rela dan menuntut, maka bermasalahlah pernikahan tersebut. Demikian pula, ketika pasangan yang menikah tersebut bercerai dan hak-hak perempuan serta hak anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut tidak diberikan, maka masalah pun muncul.
Nikah itu ada syarat dan rukunnya. Kalau persyaratan dan rukun dipenuhi sesuai dengan UU Tentang Perkawinan, apakah nikah itu sah atau tidak sah? Sah atau batal demi hukum?
Masing-masing orang boleh saja berpendapat sesuai dengan pengetahuannya. Namun demikian, ketika permasalahan pernikahan dan perceraian itu dilaporkan ke pihak berwajib, kepolisian, maka persoalan tidak menjadi mudah dan sederhana. Bisa saja mengakibatkan musibah bagi pasangan yang sudah menikah tersebut.
Kita sejak beberapa bulan belakangan disuguhi dengan peristiwa menarik perhatian. Ketika seorang perempuan Nova Yunita, yang merasa dirinya adalah istri sah H. Askolani, SH, MH (Bupati Banyuasin) melaporkan suaminya ke Polda Sumsel karena telah menikah dengan dr. Sri Fitriyanti tanpa izin dan sang suami dilaporkan melanggar pasal 279 KUHP yang intinya berbunyi: “Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun: barang siapa mengadakan pernikahan padahal mengetahui bahwa pernikahan atau pernikahan-pernikahannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu.
Selain itu barangsiapa mengadakan pernikahan padahal diketahui bahwa pernikahannya atau pernikahan-pernikahan pihak lain menjadi pernikahan yang sah untuk itu.
Bukan hanya menikah tanpa izin, apabila yang menikah itu melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Menikah dengan tercatat di instansi berwenang ada akta nikah dan buku nikah yang diterbitkan KUA atau nikah siri yang dilakukan secara khusus tanpa ada akta nikah dan buki nikah, sesungguhnya intinya adalah sudah terjadi pernikahan. Kalau pernikahan itu memenuhi syarat dan rukun sesuai undang-undang, maka dengan demikian pernikahan tersebut sah.
Namun demikian, bisa jadi ada pula yang menganggap pernikahan siri, dilakukan di hotel sebagai pernikahan yang tidak sah. Nah, kalau pernikahan itu dianggap tidak sah, boleh jadi muncul perkara baru lagi, yakni adanya perzinahan antara si lelaki yang menikah dengan perempuan yang dinikahinya.
Dalam kasus pernikahan antara Askolani dan Nova Yunita itu masing-masing punya argumen. Apakah perkara tersebut akan ditingkatkan ke penyidikan atau dihentikan, tergantung kepada penyidik di Polda Sumsel.
Selain permasalahan antara Askolani dengan Nova Yunita yang telah melahirkan seorang anak laki-laki, Askolani sedang menggugat cerai talak isterinya, dr. Sri Fitriyanti ke Pengadilan Agama Pangkalan Balai, Banyuasin. Sidang cerai itu baru tahap mediasi. Dan, yang pasti kabarnya dokter yang anak dari anggota DPRD Kabupaten Banyuasin itu sudah dikaruniai seorang anak laki-laki dan menyatakan tidak mengetahui bahwa Askolani terikat perkawinan dengan Nova Yunita. Setahunya, Askolani duda cerai mati karena isterinya, Heriyati meninggal dunia.
Yang jelas, kasus perkawinan dan perceraian bermasalah, cukup banyak terjadi di Bumi Pertiwi ini. Kalaulah Sri Fitriyanti melaporkan pula dugaan pemalsuan identitas dan penipuan ke Polda Sumsel, maka permasalahan makin ramai dan menarik. Kita ikuti dan tunggu saja apa yang akan terjadi. (Afdhal Azmi Jambak/**/Ahad 02102022)