Oleh : Afdhal Azmi Jambak
TRANSPARANMERDEKA.COM – BERBAGAI kasus yang terjadi dan melibatkan oknum-oknum anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sungguh sudah merusak citra lembaga penegak hukum tersebut. Bila selama ini yang menjadi sorotan adalah ulah sebagian oknum yang melakukan perbuatan tidak terpuji terhadap masyarakat yang seharusnya dilayani dan diayomi, belakangan justru yang terjadi adalah penzhaliman dan bahkan pembunuhan sadis yang menimpa anggota Polri dengan tersangka pelaku adalah oknum anggota Polri pula, berpangkat terendah sampai kepada perwira tinggi, jenderal berbintang dua.
Persidangan perkara pembunuhan sadis Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, ajudan Irjen Ferdy Sambo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dimulai pada Senin (17/10/2022), sekarang sudah masuk agenda pemeriksaan saksi-saksi. Para terdakwa pembunuhan berencana terhadap Brigadir J tersebut antara lain; Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Ma’ruf, Ricky Rizal dan Richard Eliezer atau Bharada E. Dan, eksepsi Ferdy Sambo serta isterinya, Putri Candrawathi ditolak majelis hakim karena menilai dakwaan Penuntut Umum sudah memenuhi syarat formil.
Selain sidang pembunuhan berencana, mulai Rabu (19/10/2022) dimulai pula persidangan perkara obstruction of justice (perintangan proses hukum) dengan sejumlah terdakwa yang ikut merekayasa dan menghilangkan barang bukti kematian Brigadir J. Jenderal dan sejumlah perwira menengah pun terlibat dalam perkara ini. Sebagian di antaranya pun sudah dipecat, termasuk Brigjen Hendra Kurniawan, mantan Karo Paminal Divisi Propam Polri.
Kasus pembunuhan berencana dan perintangan proses hukum itu tentu saja menarik perhatian banyak orang. Fakta itu menunjukkan adanya “kebobrokan” di tubuh Polri, namun demikian semua orang haruslah memberikan penilaian objektif, bahwa perbuatan tersebut hanya dilakukan oleh oknum dan sebagian di antaranya sudah dipecat dengan tidak hormat.
Sekarang, Kapolri dan jajarannya berusaha membersihkan oknum-oknum yang merusak citra lembaga penegak hukum tersebut. Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Pol Drs. Listyo Sigid Prabowo mengungkapkan citra polisi turun drastis karena adanya kasus pembunuhan terhadap Brigadir J tersebut.
Irjen Ferdy Sambo yang mantan Kepala Divisi Propam Polri itu sesungguhnya merupakan komandan polisinya polisi. Dia seharusnya menjadi contoh teladan untuk penegakan etika, disiplin dan hukum terhadap semua anggota Polri. Namun demikian, jenderal bintang dua yang termasuk berprestasi luar biasa, justru menjadi pelaku pembunuhan sadis terhadap ajudannya sendiri. Akibat dari perbuatannya, Ferdy Sambo pun dipecat dengan tidak hormat dari Polri dan perkara pidananya sedang diproses di PN Jakarta Selatan.
Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengungkapkan akibat kasus Sambo tersebut, tingkat kepercayaan masyarakat turun drastis ke angka 54 persen sebagaimana disampaikan jenderal bintang empat tersebut September lalu.
Belum selesai kasus Ferdy Sambo, terkuak lagi kasus yang tidak kalah memalukan yang melibatkan jenderal bintang dua dan perwira menengah berpangkat AKBP dalam kasus penjualan barang bukti narkotika dan obat-obatan berbahaya (Narkoba), sabu sebanyak 5 kg. Adalah Irjen Teddy Minahasa, mantan Kapolda Sumatera Barat yang semula akan dipromosikan menjadi Kapolda Jawa Timur akhirnya dibatalkan, ditetapkan sebagai tersangka bersama mantan Kapolres Kota Bukittinggi, AKBP Doddy Prawiranegara.
Irjen Teddy Minasa dan Doddy Prawiranegara merupakan tersangka kasus peredaran gelap narkoba bersama beberapa orang lainnya antara lain; Linda Pujiastuti dan Samsul Maarif alias Arif. Teddy diduga menjadi pengendali penjualan narkoba seberat lima kilogram. Atas perbuatannya Teddy dikenakan Pasal 114 ayat 3 sub Pasal 112 ayat 2 Jo Pasal 132 ayat 1 Jo Pasal 55 UU Nomor 35 Tahun 2009 dengan ancaman maksimal hukuman mati dan minimal 20 tahun penjara.
Kasus pengedaran narkoba yang diambil dari sebagian barang bukti tangkapan adalah salah satu kebiadaban yang dipertontonkan oknum penegak hukum. Pengedaran narkoba adalah kejahatan luar biasa yang sangat menjadi perhatian Pemerintah Indonesia. Sebab, Narkoba yang mewabah di negeri ini sangat berbahaya dan merupakan ancaman luar biasa terhadap ketahanan bangsa dan negara Indonesia.
Dengan menjadi pemakai, pecandu dan pengedar narkoba, maka rakyat Indonesia akan terjerumus ke lembah kehinaan. Menjadi bangsa lemah dan rusak, sehingga akan berakibat mulai hancurnya Indonesia saat ini dan pada masa datang.
Sebagai rakyat yang cinta keadilan, menghendaki negeri yang aman, nyaman dan damai, kita tentu sangat berharap agar aparat kepolisian sebagai garda terdepan penegakan hukum bisa menjadi penegak hukum yang adil dan menegakkan keadilan. Citra buruk sejak dulu tentang kepolisian, sesungguhnya secara bertahap mulai diatasi sejak belasan tahun silam.
Ketika Kapolri dijabat oleh Jenderal Soetanto, langkah awal yang bagus dimulai. Ketika itu, putra-putri terbaik Indonesia masuk menjadi anggota Polri tanpa bayaran. Tidak boleh ada yang menyuap dan tidak boleh pula ada oknum anggota Polri yang menerima uang untuk memasukkan seseorang menjadi anggota Polri.
Belakangan, situasi berubah. Dalam berbagai kasus terungkap adanya bayaran untuk masuk menjadi anggota Polri. Salah satu yang pernah terungkap adalah di jajaran Polda Sumsel beberapa tahun lalu. Majelis hakim Pengadilan Negeri Kelas 1A Khusus Palembang menjatuhkan vonis 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta kepada Mantan Kepala Bidang Dokter dan Kesehatan (Kabid Dokkes) Polda Sumatera Selatan Kombes Pol Purn Soesilo Pradoto, Kamis (23/07/2020) karena terdakwa terbukti telah menerima uang suap sebesar Rp 6,05 miliar dalam penerimaan anggota brigadir Polri, bintara penyidik pembantu dan bintara umum pada 2016 silam.
Tak hanya Kombes Purn Soesilo, AKBP Saiful Yahya yang saat itu menjabat sebagai sekretaris panitia pemeriksaan kesehatan juga mendapatkan hukuman serupa. Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klas 1 Palembang Abu Hanifah, mengatakan, dalam fakta persidangan, Kombes Purn Soesilo telah mengatur skenario penerimaan calon Secaba Polri pada 2016 lalu bersama AKBP Saiful. Di mana ketika itu mereka mematok harga Rp 250 juta per orang jika ingin lulus menjadi polisi. Bahkan,untuk lulus dalam tes kesehatan, Soesilo pun mengenakan biaya Rp 20 juta per kepala untuk calon Secaba.
“Terdakwa Soesilo terbukti menerima suap dari 50 calon siswa yang mendaftar untuk penerimaan anggota brigadir Polri, bintara penyidik pembantu, dan bintara umum. Saat itu posisi Soesilo adalah ketua panitia kesehatan. Proses seleksinya sendiri terjadi pada April-Mei 2016,” kata Abu saat membacakan vonis, Kamis (23/7/2020).
Sesungguhnya ada sejumlah kasus lainnya yang melibatkan oknum-oknum polisi dan merusak citra korp baju coklat tersebut. Dan, saat ini Kapolri Listyo Sigid Prabowo berusaha melakukan perbaikan. Salah satu caranya dengan melarang para polisi lalu-lintas menindak pelanggar yang melakukan kesalahan tidak berat. Pelanggar lalu lintas tidak perlu ditilang, cukup dinasehati dan diingatkan saja agar jangan mengulangi perbuatan lagi. Terhadap kasus pidana, tentu saja boleh diproses sesuai hukum yang berlaku.
Kebijakan Kapolri tersebut boleh jadi melegakan banyak orang. Sebab, tindakan sebagian oknum Polantas di jalan raya terasa sangat menyakitkan masyarakat karena terkadang seakan-akan mereka mencari-cari kesalahan masyarakat. Tilang pun bisa berubah menjadi transaksi rupiah yang terkadang memberatkan warga.
Sesungguhnya berbagai peristiwa memalukan yang terjadi menimpa Polri ini haruslah dijadikan pelajaran berharga oleh Kapolri sampai ke jajaran aparatur terendah. Perbuatan-perbuatan tidak elok, penzhaliman dan bahkan kesewenang-wenangan oleh sebagian oknum haruslah dihentikan.
Para anggota polisi yang tidak bekerja profesional sehingga perkara-perkara yang mudah justru dikuntangkan bertahun-tahun, tidak selesai-selesai, mestinya menjadi perhatian serius Kapolri dan semua kepala di semua tingkatan. Baik di Polda, Polrestabes, Polres bahkan Polsek dan Satuan serta unit.
Kita sebagai rakyat akan senang bila melaporkan kejahatan atau perbuatan pidana diproses dengan baik dan cepat oleh aparat kepolisian, tanpa biaya sebagaimana penegasan Kapolri. Akan sangat sedih dan menyakitkan bila laporan pidana selama lima tahun tidak juga sampai ke penyidikan dan atau tidak juga dilimpahkan ke pengadilan. Polisi adalah lembaga besar yang punya kekuatan luar biasa dari tingkat RW, desa dan atau kelurahan ada polisi. Dan, mereka mestinya melaksanakan tugas dengan baik dan melakukan koordinasi yang baik pula terhadap berbagai kasus yang ada.
Citra polisi akan menjadi lebih baik lagi, bila para anggota polisi sungguh-sungguh menjadi pelayan, pelindung dan pengayom masyarakat. Janganlah sampai ada lagi oknum yang menjadikan “tangan”nya untuk menyakiti, memeras bahkan menzhalimi rakyat dan anggota polisi lainnya. Bukankah semua sudah menerima gaji saban bulan dan mendapat fasilitas dari negara yang nota bene berasal dari uang rakyat.
Penegasan kalau ingin kaya jangan jadi polisi, terkadang merupakan retorika yang jauh panggang dari api. Masih ada oknum-oknum yang ingin kaya-raya dengan pekerjaan polisi. Bila mengandalkan kepada gaji dan tunjangan resmi bulanan, rasanya sulitlah bagi anggota polisi untuk menjadi kaya dengan harta milyaran bahkan puluhan milyar rupiah. Namun untuk hidup normal, rasanya gaji dan tunjangan serta fasilitas dari negara cukup buat mereka.
Kita berharap, di tengah perhatian besar negara terhadap lembaga Polri dengan penyediaan anggaran resmi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) introspeksi dan evaluasi menyeluruh harus dilaksanakan. Akar masalah utamanya adalah pada saat rekrutmen calon anggota Polri.
Kalaulah semua yang masuk jadi anggota Polri tidak keluar biaya alias gratis, maka saat menjadi polisi mungkin mereka tidak akan memikirkan uang kembali. Demikian pula, bila saat hendak naik pangkat dan jabatan tidak keluar duit, tetapi penilaian utamanya karena kinerja dan prestasi bagus, termasuk berakhlak mulia, maka para anggota polisi akan berlomba-lomba menjadi polisi yang baik, yang tidak melanggar etika dan sumpah.
Pemerintah atau negara memang haruslah memberikan perhatian besar untuk kesejahteraan anggota Polri. Di negara lain, gaji penegak hukum jauh lebih besar dari gaji pegawai biasa, mereka yang penegak hukum tidak mau dan tidak berani melanggar hukum karena akan kehilangan pekerjaan dan kehormatan serta mendapat hukuman berat kalau menyalahgunakan wewenang.
Kita bersyukur, semoga berbagai kebijakan yang dikeluarkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo itu bisa memperbaiki citra polisi. Kapolri seharusnya membuka hotline pengaduan atas tindakan dan perilaku oknum-oknum anggotanya terutama yang tidak melaksanakan pekerjaan dengan baik. Yang tidak menuntaskan perkara dengan cepat, bahkan menggantung perkara bertahun-tahun sehingga merugikan masyarakat pencari keadilan.
Sesungguhnya, polisi sudah seharusnya membangun jaringan untuk merekrut putra-putri terbaik Indonesia dengan melakukan penjaringan sejak dini, sejak sekolah dasar (SD). Sudah harus ditanamkan jiwa dan sikap terhormat sebagai calon anggota polisi dan mereka yang dijaring itu didata dan kemudian diprioritaskan untuk dididik di lembaga pendidikan khusus Polri. Namun demikian, sejak di bangku sekolah mereka sudah harus bersikap baik, berakhlak mulia dan ketika diterima menjadi polisi maka mereka bisa membedakan yang benar dan yang salah.
Terhadap oknum-oknum polisi termasuk yang sudah dipecat dari anggota Polri yang sedang menjalani proses hukum di pengadilan, kita harapkan agar Jaksa Penuntut Umum menuntut dengan hukuman maksimal dan Majelis Hakim yang mengadili menjatuhkan vonis berat. Bila perlu vonis hukuman mati, maka jatuhkanlah vonis mati tersebut.
Kita sependapat untuk membersihkan lembaga Polri, maka semua orang yang merusak dan berpotensi merusak citra Polri sebaiknya diselesaikan sesuai hukum yang berlaku. Dipecat dan divonis mati, atau dihukum dengan hukuman seberat-beratnya. Sebab, dengan demikian akan menimbulkan efek jera. Para anggota Polri yang ada yang masih berdinas, insya Allah akan ekstra hati-hati dan tidak mau melakukan kesalahan dan kejahatan serupa. Dengan demikian kita akan memiliki Polisi yang baik, profesional dan berakhlah mulia. (Palembang, 1 November 2022/Afdhal Azmi Jambak)